JMSI, Jawa Barat Provinsi Dengan Kasus Korupsi Terbanyak

Hukum, Ragam630 views

REPUBLIKAN, Bandung – KORUPSI hingga kini tetap jadi masalah kronis bangsa Indonesia, seperti penyakit kanker yang menggerogoti tubuh manusia. Kabar ditangkapnya pejabat negara akibat terjerat kasus korupsi terus berseliweran di berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik.

Maka tak heran jika data Transparancy Internasional tahun 2021 menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di antara negara G20. Dengan skala 0-100, Indonesia mendapat skor 37, urutan tiga terbawah setelah Meksiko  yang diberi skor 31 dan Rusia dengan skor 30.

Upaya pemberantasan korupsi di tanah air bukan tak ada. Sejak didirikan 29 Desember 2003 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menangkap banyak sekali koruptor dari berbagai kalangan. Baik birokrat, pengusaha maupun politisi.
Di Hari Anti-Korupsi Sedunia (9/12/2021),

Ketua KPK RI saat ini, Firli Bahuri, menyebut lembaga antirasuah yang kini dinakhodainya sudah menangani 1.291 kasus korupsi.

Data KPK menyebutkan, per Oktober 2021 ada 1375 yang jadi tersangka. Sudah 22 gubernur, 141 bupati dan walikota/ wakilnya ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Begitu juga, sebanyak 309 anggota legislatif dibekuk, 262 pejabat eselon I, II, II maupun IV terlibat dan lebih dari 345 pihak swasta diciduk oleh KPK.

Pada bulan September 2021 lalu, Firli mengungkapkan data korupsi yang ditangani KPK pada periode 2004-2020, ada 26 dari 34 provinsi yang memiliki kasus korupsi.

Mirisnya, Jawa Barat jadi provinsi dengan kasus korupsi terbanyak. Ada 116 kasus di Jawa Barat yang ditangani lembaga anti rasuah itu. Lebih tinggi dari Jawa Timur yang menempati urutan ke-2 dengan 104 kasus.

Masih segar dalam ingatan kita, sekitar tiga minggu lalu, Bupati Bekasi, Rahmat Effendi, kena tangkap tangan KPK. Diduga, dia terlibat dalam kasus pengadaan barang-jasa dan jual-beli jabatan.

Bulan Agustus 2021, mantan Walikota Cimahi, Ajay Supriatna, divonis 2 tahun bui karena terbukti menerima gratifikasi terkait pembangunan Rumah Sakit Kasih Bunda.

Sebelumnya, KPK menangkap, Bupati Bandung Barat, Abu Bakar (2018), Bupati Subang, Imas Aryumningsih (2018), Walikota Cimahi Sebelum Ajay, yakni Atty Suharti dan M. Itoc Tochija, Walikota Bandung, Dada Rosada (2013) dan beberapa bupati lain.

Tetap saja, kasus korupsi terus terjadi. Upaya penindakan yang dilakukan KPK seperti tak memberi efek jera.

Awal tahun ini, Firli Bahuri memperkenalkan strategi Trisula Pemberantasan Korupsi. Dalam pandangan Firli pemberantasan korupsi di Indonesia baru akan berhasil jika aspek pencegahan dan pendidikan antikorupsi dilakukan secara bersamaan dengan upaya penindakan. Dia tak ingin KPK hanya berfungsi sebagai pemadam kebakaran saja.

Di acara Pengukuhan Pengurus JMSI Jawa Barat  di Kota Bandung, Jumat (22/1)  Firli menjelaskan secara gamblang strategi Trisula Pemberantasan Korupsi yang dia usung.

Pria kelahiran Lontar, Muara Jaya, Ogan Komering Ulu, Sumatra Selatan itu menegaskan, semua instrumen anak bangsa akan menjadi agen pemberantasan korupsi dengan memainkan  irama dan musik  sesuai peran masing-masing. Baik kalangan penegak hukum, media massa, birokrat, wakil rakyat, pengusaha, hingga tiap-tiap individu di tanah air.

Melalui strategi tersebut Firli yakin Indonesia yang bebas dan bersih dari perilaku koruptif bisa diwujudkan dalam waktu singkat.

Di tengah upaya KPK menjalankan orkestrasi besarnya, ada fakta yang mengganggu. Dari puluhan Kepala Daerah di Jabar yang diundang JMSI Jabar menghadiri pemaparan Trisula Pemberantasan Korupsi Firli, ternyata hanya Bupati Sumedang dan Plt Walikota Cimahi yang hadir.

Sementara puluhan Bupati dan Walikota lain tak datang memenuhi undangan.
Pun Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ternyata lebih memilih melakukan kunjungan ke Surabaya daripada “bicara” pemberantasan korupsi dengan Ketua KPK RI.

Sebagai “tuan rumah” Plt Walikot Bandung, Yana Mulyana  juga absen tanpa penjelasan apa-apa. Padahal, Yana digadang-gadang akan memberi sambutan selamat datang pada tamu undangan dan Ketua KPK yang hadir di acara tersebut.

Fakta tersebut tentu membuat keluarga besar JMSI Jabar gelisah. Pertanyaan liar pun sontak muncul, jangan-jangan surat undangan panitia tak sampai atau mungkin suratnya tak dibaca. Atau, jangan-jangan phobia KPK telah menghinggapi pejabat-pejabat di Jawa Barat.

Semoga saja “keengganan” para pejabat tersebut bukan pertanda rasa “rumasa” mereka.

“Sajorelat” sempat terbesit di pikiran, ada pihakpihak yang tidak menghendaki JMSI Jabar mengemban dua misi penting, membangun pers yang sehat dan mendukung upaya pemberantasan korupsi.

Kami pun segera menepis pikiran tersebut.
Kami yakin para pejabat hingga masyarakat awam di Jabar pada dasarnya adalah orang-orang baik dan tentunya akan mendukung dua misi kami yang bertujan baik itu.

Jika pun hambatan itu ada, kami bertekad akan menghadapinya. “moal unggut kalinduan, moal gedag kaanginan. cadu mundur, haram dempak, moal mundur sasiku, moal ngejat satunjang beas”.

Koruptor harus ditumpas, bendera JMSI  harus berkibar di Jawa Barat.[SFP]

Comment