Oleh : Ali Wardhana Isha
(Petani Jengkol, West Java Gastronomic, Ketua DPW Insan Tani dan Nelayan (Intani) Jawa Barat, Komite Riset dan Kebijakan DPP Intani, dan Ketua Komunitas Masyarakat Peduli (Kompi) OKU Selatan.)
REPUBLIKAN – “Mungkin tuhan mulai bosan,melihat tingkah kita”. Sepenggal lirik lagu dari Ebiet G. Ade itu, selalu menyeruak disela-sela diskusi dan obrolan masayarakat saat ada bencana melanda. Kita, selalu menuduh tuhan dengan penggalan lagu tersebut, bila alam mengganas menerjang bumi. Lirik itu memang menjadi sesuatu yang sangat berarti maknanya. Lagu menyimpan pesan mendalam, tentu terasa tepat dan selaras dengan musibah yang kini melanda. Manusia yang minim nalar logis dan selalu mencari pembenaran merasa tepat bila kita menyalahkan alam. Melupakan kesalahan kita sendiri. Sehingga, lirik “mungkin tuhan mulai bosan”, adalah pilihan tepat bagi Sebagian besar manusia. Kita, manusia jadi lupa bertanya pada diri sendiri “Mengapa bencana itu terjadi?”.
“Mengapa bencana itu terjadi?”. Sebuah pertanyaan yang jauh hari selayaknya telah bisa dijawab oleh manusia itu sendiri. Bencana kini bukan lagi “hukuman atau cobaan” layaknya di jaman nabi-nabi. Tetapi bencana kini adalah “ulah manusia” dan lebih tepat jika kita katakan “peringatan” dariNya. Dengan demikian pernyataan “mungkin tuhan mulai bosan”, rasanya sekedar proses manusia mencari pembenaran. Ego, kita terlalu tinggi, dengan menyatakan “tuhan sudah bosan”. Sesungguhnya, ada kita atau tidak, selamanya tuhan tetap tidak akan pernah bosan mengurus semua ciptaanNya. Bayangkan, andai tuhan bosan, saya rasa bencana alam mulai dari tanah longsor, kebakaran, tsunami, gempa dan banjir, serta benar tuhan telah menghukum kita. Saya, yakin kita telah musnah.
Alangkah bijak, apabila kita mulai menjawab pertanyaan dengan solutif. Bencana alam yang rutin terjadi kini, tidak lepas dari prilaku kita yang seakan tiada rasa syukur lagi. Begitu pula, kita renungi banjir yang melanda sebagian negeri ini, termasuk apa yang terjadi di Kabupaten OKU Selatan, Kabupaten Lahat—Sumatera Selatan atau lahar dingin di Magelang dan Malang. Konteks OKU Selatan, saya mencatat sudah tiga kali terjadi Tahun 2020 di bulan Ramadhan, 8 Mei 2020 pukul 02.30 WIB menjelang sahur yang merendam ratusan hektar lahan, rumah di 4 Kecamatan (Buay Sandang Aji (BSA), Muaradua, Buana Pemaca dan Simpang.
Tepat 13 November 2022, dua tahun kemudian air bah melanda Desa Kutabatu Warkuk Ranau Selatan (WRS) Kabupaten OKU Selatan. Air menerjang di dinginnya subuh 04.00 WIB. Ada 7 dusun dengan ketinggian air 0,5 cm – 1m. Sontak masyarakat, yang akan berangkat ke masjid menunaikan shalat subuh kaget. Ratusan juta kerugian dialami masyarakat, akibat banjir bandang ini. Air Sukaw Liwa Lampung Barat mengamuk mengirimkan pesan ke seluruh negeri.
Dan, baru-baru ini 5 Juni 2023 sungai saka selabung kembali menunjukkan kuasanya. Air meluap membanjiri, menghanyutkan dua rumah, menggenangi ratusan hektar lahan perebunan dan pertanian, dan merenggut 1 jiwa (bapak Karno) warga Desa Ulak Danau. Kita, Kembali menyimpulkan, banjir akibat “perubahan fungsi hutan” sebagai penyebabnya.
Saya selalu membaca, mendengar dan melihat, “alam” selalu yang kita salahkan. Tuhan, selalu kita tuduh melihat tingkah laku kita. Kita tak pernah mengakui, bahwa banjir dan bencana alam adalah ulah bosan kita manusia. Kita, manusia—yang cenderung serakah dan melupakan bahwa alampun membutuhkan kesimbangan. Manusia, sedikit pun tidak mau berkontemplasi diri “Mengapa bencana alam ini selalu terulang?. Saya yakin, jika kita kontemplasi diri, kita tidak akan pernah menuduh “tuhan sudah bosan”, atau mengatakan bencana itu “hukuman” dari tuhan. Kita akan lebih, mengakui bahwa bencana karena ulah kita manusia sendiri. Logika sederhananya, tidak mungkin alam akan marah, bila keseimbangan dan haknya sebagai ciptaan Tuhan tidak kita rampas.
Bukankah, para ahli telah menyatakan bahwa “Fenomena banjir terjadi karena rendahnya resapan air tanah yang dibarengi dengan tingginya curah hujan, Mengapa resapan air berkurang?. Karena terjadinya alih fungsi lahan yang seyogianya air tersebut, meresap ke dalam tanah dan diresap oleh tanaman atau tumbuhan telah berubah fungsi menjadi bangunan dan jalan,”. Teknis pembangunan disepanjang sepadan sungai juga, kita abaikan keseimbangannya: “ Pembangunan di bantaran sungai pun perlu kita sikapi karen itu memberikan dampak buruk terhadap ekosistem sungai, apa yang harus kita lakukan?. Mencegah penebangan pohon dan hutan di daerah hulu agar resapan air menjadi tinggi dan menjaga ekosistem hutan dengan baik.” menurut ahli lingkungan Dr. Enda Kartika Sari, M.Si, dari Teknik Lingkungan Universitas Baturaja. ( sumselupdate.com, 6/7-23).
Hardianto (aktivis lingkungan), juga melihat ini sebagai dampak dari “ lemahnya kesadaran semua pihak (stakehoders) untuk mencintai lingkungan, menekan pembukaan hutan dan makin maraknya illegal logging. Hardianto, meminta semua stakeholder, masyarakat dan pemerintah serta investor guna menjaga lingkungan.”
Terlepas, dari pendapat akademisi dan pegiat lingkungan tersebut. Kita, sudah tahu sesungguhnya faktor utama maraknya bencana, adalah ulah manusia dan minimnya kepedulian pemerintah pada alam. Pembiaran, pada upaya perubahan fungsi hutan, illegal logging, dan rendah sanksi hukum makin memperparah kerusakan. Kita makin abai, dan minimnya kesadaran kolektif untuk bersahabat dengan alam. Kita terlalu buas pada alam, kita lupakan bahwa alam pun membutuhkan ruang untuk menjaga keberadaan ekosistemnya.
Lalu Apa Solusinya?
Perubahan fungsi hutan. Kita sepakati sebagai penyebab umumnya banjir saat ini. Problematika penyebab banir sudah kita ketahui dan sadari Bersama. Pertanyaannya “adakah tawaran solusi?”. Kerusakan hutan dan perubahan fungsi hutan, sebagai akibat dari egoistik manusia, minimnya komitmen menjaga lingkungan dan rendahnya ketegasan negara. Manusia terlalu rakus dan kemaruk untuk mengisi kebutuhan perutnya. Manusia abai menjaga keseimbangan alam. Mengingat, alam membutuhkan kesimbangan tersebut. Dari itu, saya melihat ada beberapa upaya kiranya, dapat dilakukan kita sebagai stakeholder.
Kementerian PUPR telah membuat peraturan perundangan, dengan Permen PUPR No. 26 tahun 2015 tentang Pengalihan Alur Sungai dan/atau Pemanfaatan Ruang Bekas Sungai, dan Permen PUPR No. 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Dalam permen ini, pemerintah sudah sangat jelasmengatur pemanfaatan ruang sungai/danau, dan garis sepadan sungai/danau. Ada kreteria khusus, terkait garis sepadan ini, yaitu untuk sungai/danau besar garis sepadannya ditetapkan 100 m dari permukaan air. Sedang untuk sungai/danau kecil garis sepadannya 50 mdari permukaan. Ruang itu, sebaiknya digunakan untuk menjaga keseimbangan alam dan ekosistem lingkungan.
Adalah pelanggaran hukum apabila pemerintah daerah memberikan ijin operasional kepada perusahaan / masyarakat pergunakan selain ruang konservasi. Implementasi permen tersebut, maka sebaiknya setiap pemerintah daerah (pemda) memiliki peraturan daerah (perda). Fungsi, perda tentu saja untuk pedoman operasional pemda menjaga dan melindungi lingkungan, dari kerusakan akibat perubahan fungsi hutan.
Tentu tidak ada alasan lagi, bila terjadi pelanggaran ruang sungai/danau tidak mendapatkan sanksi hukum pada setiap pelaku perusak lingkungan. Negara, hadir bukan semata untuk tujuan investasi. Keseimbangan alam merupakan tugas, tanggung jawab dan komitmen semua stakeholders. Pemerintah, stakeholders lingkungan dapat memulai dengan menyusun Gerakan “back to Nature”. Gerakan, ini maksudnya adalah untuk memastikan bahwa kerusakan lingkungan akan berdampak pada bencana. Bencana akan dapat diantisipasi, jika pemerintah mempunyai komitmen edukasi lingkungan, kampanye dan memastikan setiap stakeholders lingkungan memahami sesungguhnya “air memutuhkan resapan, tanah membutuhkan penahan, sungai memerlukan aliran, hewan membutuhkan habitat dan alam membutuhkan keseimbangan.”
Gerakan ini, mempunyai peranan regulasi strategis dan mutlak, sebagai penekan pada semua pihak yang tidak mempunyai komitmen dan kepedulian pada keseimbangan alam. Sehingga, studi Analisa dampak lingkungan (amdal) merupakan kemutlakan dan berlaku untuk siapapun. Dan, siapapun, harus memiliki kontribusi pada proses reboisasi dan menyiapkan konservasi lingkungan. Mengingat “konservasi” itu sesuatu yang penting dan mutlak. Karena, dengan konservasi inilah kita akan selalu dapat menjaga keseimbangan alam untuk manusia, flora dan fauna serta negara.
Pemerintah daerah (bupati dan dewan), tidak bisa lagi menganggap bencana banjir ini sebagai bencana biasa dan hukum alam sebagai dampak dari perubahan iklim. Pemerintah (bupati, forkopimda dan dinas) terkait, membentuk team kajian dan evalusai menyeluruh sebagai penyebab rutinitas bencana banjir, yang merugikan masyarakat dan negara. Langkah, konkrit menurut saya, adalah memasifkan gerakan penghijauan, pembentukan team sapu bersih pembalakan liar, investor nakal yang melakukan perubahan fungsi hutan.
Konservasi Lingkungan Bambu
Seandainya, alam sudah kadung rusak. Apa kiranya, yang harus segera kita lakukan. Ya, jawabannya adalah mengembalikan fungsi hutan, sungai dan air sebagaimana mustinya. Upaya ini, dapat kita lakukan dengan cara reboisasi dan konservasi. Konservasi akan cepat dan mudah memperoleh hasilnya, adalah dengan melakukan reboisasi dan memilih menentukan tanaman yang sesuai untuk konservasi. Bambu, bisa dijadikan satu tanaman alternatif yang memiliki beberapa keunggulan “murah, mudah, cepat dan banyak” persediaannya di Indonesia.
Mengingat “konservasi” dan “reboisasi” adalah satu kesatuan yang utuh untuk menjaga keseimbangan alam. Konservasi adalah filosofi moral gerakan yang terfokus pada perlindungan spesies dari kepunahan, pemeliharaan dan pemulihan habitat, penjagaan ekosistem guna melindungi keanekaragaman hayati. Sedangkan, reboisasi merupakan gerakan melakukan pengembalian kawasan hutan yang telah gundul sebagai resapan air. Selain kawasan gundul, reboisasi juga digunakan untuk mengurang abrasi di sepadan sungai dan danau. Untuk itu, salah satu cara reboisasi adalah diawali dengan melakukan pemilihan tempat dan jenis tanaman yang memiliki fungsi resapan yang tinggi.
Dengan kondisi alam dan tingkat kerusakan hutan semakin tidak terkendali, akibat pembukaan lahan perkebunan dan pemukiman. Kita, lihat ada beberapa upaya harus segera dilakukan oleh kementerian lingkungan dan pemerintah daerah, yakni membuat regulasi yang tegas dan keras pada perusak hutan. Regulasi, ini super penting sebagai tahap awal, guna melakukan tekanan hukum pada siapapun yang melakukan perusakan hutan (negara, perusahaan dan atau masyarakat).
Apabila, ada yang melakukan kerusakan hutan dan tidak memiliki kemampuan menjaga kesimbangan alam, negara harus tegas dengan meninjau ulang perijinannya. Bila perlu, sanksinya bisa saja sampai mencabut hak guna usaha (HGU), baik yang dilakukan perusahaan besar maupun milik masyarakat. Pembukaan lahan perkebunan kepala sawit, kopi, jagung, karet, dan lainnya, sudah sangat memprihatinkan. Negara harus hadir mengontrolnya secara tegas, jelas dan memiliki kepastian hukum.
Selain, regulasi pemerintah juga perlu mempunyai kebijakan lain, yaitu membuat program reboisasi massal di daerah-daerah resapan air. Program reboisasi ini, bisa dilakukan mulai dari sepadan sungai. Mengapa pilihan, pada sepadan sungai, minimal untuk menahan tanah dari daerah perkebunan agar tidak langsung masuk dan memperdangkal permukaan sungai. Sehingga, kita dapat menekan laju tanah masuk ke sungai langsung, yang berakibat pada pendangkalan, maka sedikit kita akan dapat menekan luapan air dan longsor.
Pilihan gerakan reboisasi di sepadan sungai ini, sangat mungkin bisa dilakukan. Mengingat, dalam permen PUPR No.28/2015 tentang Penetapan Garis Sepadan Sungai dan Garis Sepadan Danau Jelas, dirumuskan batas sepadan sunga besar 100 meter dan atau 50 meter dari permukaan air. Artinya, sepanjang 50—100 meter, berarti tidak boleh ditanami tanaman produktif perkebunan seperti karet, kelapa sawit, kopi, lada, jagung, pada dan juga pemukiman. Bahkan, sepanjang sepadan sungai 50—100 m dari permukaan air, dan tidak boleh dikuasai perorangan atau perusahaan. Karena, lahan seluas itu adalah hak milik negara. Dan, hanya diperuntukan guna menekan kemungkinan pendangkalan aliran sungai dan danau. Apabila sudah terlanjur digunakan, maka negara bisa mengambilnya kembali dan menanaminya untuk menjaga keberlangsungan sungai dan danau.
Lalu pertanyaannya”tanaman apa yang sesuai di sepadan sungai/danau?”. Berdasarkan pengamatan dan penelitian, maka tanaman yang paling sesuai untuk struktur tanah sekitar sungai / danau adalah pohon bambu. Mengapa, pilihannya jatuh ke bambu. Alasannya, secara jumlah, bambu di dunia ada lebih dari 1865 jenis (10 %: 186,5 jenisnya ada di Indonesia), termasuk di Kabupaten OKU Selatan tentunya.
Di seluruh dunia, ada 3 negara yang telah menjadikan bambu sebagai program konservasi unggulan, yaitu China, Jepang dan India, telah lama dilakukan. Di China ada Hutan Bambu Nasional Anji—Hangzhou. Jepang mempunyai hutan bambu “arashiyama bamboo gove” di Kyoto). Indonesia, juga telah memiliki hutan bambu skala lebih kecil ada di Bangli/Bali, Boon Pring Andeman/Malang, Hutan Bambu Lumajang, Hutan Bambu Petung 1000/Mojokerto, Hutan Bambu Keputih/Surabaya, Hutan Bambu Bekasi/Bekasi yang luas dan jenis bambunya masih cukup terbatas. Dimana, luas dan tatakelolanya belum semenakjbkan hutan bambu “Anji atau Arashiyama”.
Mengapa China, Jepang dan India, telah lebih dulu menjadikan bambu sebagai tanaman konservasi utama. Alasannya, karena bambu dikenal memiliki daya tahan yang kuat, akarnya menyebar luas. Masa panen bambu, juga tergolong singkat, pertumbuhannya sangat cepat. Bambu, bisa digunakan untuk dibuat panel, lantai, bio-fuel, furniture, bahan bangunan, kreasi seni, alat music, alat berburu, alat dapur, kuliner olahan, dan tentunya destinasi wisata menarik-unik dan kebun wisata bambu, serta “carbon catchment” bernilai tiada dari dahulu perkampungan sangat jarang dihantam angin kencang yang merobohkan rumah dan tanaman lainnya.
Semua, manfaat bambu tersebut sangat besar dari sisi ekonomi. Sehingga, potensi bambu ke depan akan sangat besar, mengingat kayu alam makin berkurang akibat perubahan fungsi hutan. Bambu memiliki kemampuannya dalam menjaga ekosistem air. Tidak mengherankan, bila ada lahan tanah yang ditumbuhi rumpun bambu biasanya menjadi sangat stabil. Tak mudah terkena erosi. Oleh karena itu air juga lebih mudah menyerap ke dalam tanah yang ditumbuhi tanaman tersebut.
Kita, berharap kedepan OKU Selatan akan memiliki hutan bambu terpanjang di dunia, karena dari semua sungai dari hulu ke hilir akan ditanami aneka jenis bambu. Sehingga, kita akan mengikuti China, Jelang, dan India yang telah berhasil memanfaatkan tanaman bambu untuk kepentingan konservasi air dan tanah. Bambu juga dikenal sebagai teknologi kapiler dari alam tercanggih: sebagai media peresap dan menyimpan air. Fakta, menunjukkan bahwa di setiap kerimbunan hutan bambu pasti terdapat mata air yang keluar konstan dan stabil biarpun di musim kemarau. Oksigen, bambu mampu melepas 35 persen oksigen, sehingga bambu terbukti jadi tumbuhan yang sangat berguna dalam menghijaukan lahan gundul (terdegradasi produktivitas lahannya).
Dengan, keunggulan bambu demikian, kita tidak perlu lagi meragukan kemampuan tanaman bambu sebagai media penghijauan, tanaman fleksibel cuaca, musim tentu kuat untuk menahan abrasi daerah aliran sungai (DAS)/danau. Bambu, secara historis dan tradisi lokal mengandung filosofi kehidupan. Jadi, tentu kerugian besar bila kita mengabaikan potensi tanaman bambu untuk kepentingan ekonomi. Daya cengkram bambu sebagai tahaman konservasi luar biasa ini. Bahkan, hasil penelitian terbit di China, bambu mempunyai kemampuan menyimpan air tanah lebih banyak hingga 240% jika dibandingkan dengan tanaman pinus.
Mengingat, potensi besar ini, kini semakin ditinggalkan oleh masyarakat modern dari waktu ke waktu, akibat kekurangan informasi dan edukasi. Kita harus mengembalikan lagi kejayaan bambu dimasa lalu. Saya, yakin suatu ketika bambu yang memiliki peluang sangat besar dan berpotensi besar secara ekonomi dan alam akan mampu untuk mengangkat harkat dan martabat sebuah daerah dari sisi lain.
Melalui tulisan ini, saya bermimpi suatu waktu sepanjang hulu hilir di sepadan sungai dan danau di Indonesia (khusus OKU Selatan), akan ditanami aneka jenis bambu. Disamping, untuk keperluan yang telah saya sebutkan diatas, dapat juga jadi icon wisata bambu internasional pertama dan terbesar di Indonesia. Kedepan, kita tahu hanya daerah yang pemerintahan dan masyarakatnya yang kreatif, inovatif dan memiliki kekhususan (misalnya tanaman bambu) ini, kelak akan menjadi daerah tujuan wisata karena adanya destinasi wisata ikonic. Ikonic, karena memiliki koleksi bambu beraneka macam, tidak perlu mencapai 1865, cukup 5—10 % jenis dari jumlah jenis bambu dunia, bis akita kembangkan di OKU Selatan. Dimana, beberapa tahun ke depan, kita akan melihat ratusan ribuan jutaan wisatawan akan datang, guna menikmati hembusan semilir angin menerpa dedaunan bambu, rindangnya pepohonan bambu, duduk berkursi bambu, minum bergelas bambu, makan berpiring bambu, sendok bambu, plus aneka olahan berbahan dasar bambu (rebung).
Amazing menakjubkan. Itu, bisa kita mulai dengan membuka ruang pikir, inovasi dan potensi lain, diluar kelaziman dengan menciptakan identitas baru dari sebuah sebuah daerah, yang menjadi pusat perhatian dunia karena adanya ikon baru yang dibuat oleh hasil olah kreasi kepemimpinan visioner.[red]
Comment