Reformasi Pertanian Secara Konsisten

Ekonomi473 views

Oleh : Ali Wardhana Isha

(Penulis : Petani Jengkol, Ketua DPW Insan Tani dan Nelayan (Intani) Jawa Barat, Komite Riset, Kebijakan DPP Intani, dan Ketua Komunitas Masyarakat Peduli (Kompi) OKU Selatan). Email: aliwardhanaishaawi@gmail.com

“Petani Indonesia tidak lepas dari masalah rendahnya harga gabah, tingginya harga pupuk, sulitnya mendapatkan air irigasi, dan kuatnya jeratan para tengkulak, serta perubahan iklim yang tidak menentu mempertambah kesulitan petani. Akibatnya, biaya produksi pertanian sulit diprediksi dan tinggi.”

“Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, saat mendampingi Presiden Joko Widodo di KTT G2o ke-18 (9-10 September 2023) lalu di India. Memiliki sebuah pertanyaan ““Mengapa India bisa ekspor, kita bisa impor?”.

Pertanyaan Zul itu, tentu sangat beralasan?. Mengapa ?. Indonesia di Usia 78 tahun Merdeka. Permasalahan perberasan nasional kita, seakan tidak ada perubahan berarti. India, sebaliknya. Bayangkan, kita selalu dihadapkan pada permasalahan krisis pangan, fluktuasi harga terus terjadi, naik-turun seakan datang secara tiba-tiba, khususnya pada momentum perubahan iklim dan menjelang ada hajatan politik (pemilu). Ironi, Nasib petani—harga naik petani tetap tak menikmati, konsumen menjerit. Dimana masalahnya?”.

Saya makin tersentak ketika seorang teman mengirim whatsapps. Dia, menyampaikan keprihatinannya, akan ketahanan pangan dalam negeri. Dia, juga melengkapinya dengan data, bahwa dari catatannya dari 24 negara eksportir utama pangan dan pertanian dunia ternyata, 10 negaranya adalah negara industri dan maju, yaitu: Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Kanada, Belgia, Italia, Australia, Selandia Baru, Inggris, Denmark. Dan, jumlah itu akan bertambah bila, saya masukkan Rusia, Chili, dan Polandia.

Dimana Indonesia?. Indonesia, berada di urutan ke-24. Bukankah, kita selama ini, mengklaim diri sebagai negara agraris. Dimana keagrarisan kita ?. Bahkan, kita kalah telak dengan tata kelola pertanian (pangan) dengan India. India, satu dari negara eksport beras, yang memasok kita. Ada apa dengan tata Kelola pertanian di Indonesia. Masihkah, pantaskah kita di sebut negara agraris?. Atau, kita memang hanya disungguhi cerita pengantar tidur tentang sebutan negara agraris ini?.

Yang pasti, kini kita (hari-hari ini) dihadapan kesulitan membeli beras, karena harga makin naik. Daya beli kita tidak mengalami perubahan. Data, saya peroleh harga telah mencapai 15.000-17.000/premium. Indonesia masih jadi pengimpor beras dari berbagai negara.

Kondisi ini, bahkan target pemerintah akan meningkatkan produksi beras hingga 32,96 juta ton/tahun tak gampang diwujudkan. Padahal, pemerintah sangat berambisi produksi padi tersebut bisa dihasilkan dari 33 provinsi dengan sasaran luas tanam 12,49 juta ha dan sasaran luas panen 11,86 juta ha. Produktivitas padi diharapkan naik dari 4,6 ton per ha menjadi 4,9 ton per ha.

Ambisi pemerintah itu realis, karena target kenaikan produktivitasnya hanya 0,3 ton per ha. Tapi, Indonesia terancam oleh adanya konversi lahan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) 2022, ada sekitar 3,1 juta ha lahan sawah dari total luas sawah 8,9 juta ha. Bahkan, ada sedikitnya 100.000 ha lahan irigasi teknis kini sudah beralih fungsi. Jika diasumsikan sawah seluas 100.000 ha, dengan produksi 5 ton gabah per ha, maka kita akan kehilangan produksi mencapai sekitar 1 juta ton gabah per tahun.

Menurut Dosen Ekonomi Kelembagaan pada Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, Dr. Ahmad Erani Yustika. Permasalahan, “Konversi lahan ini tidak bisa dianggap remeh, karena sangat berpengaruh terhadap produksi padi secara keseluruhan”. Permasalahan, ini makin menambah problematika pertanian kita. Bahkan, Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1990, tentang larangan peralihan fungsi lahan pertanian teknis irigasi dilarang dialihkan menjadi lahan non pertanian. Nyatanya, hanya sebatas kepres yang selalu kita abaikan dengan berbagai argumentasi dan alasan.

Lemahnya dan tidak konsistennya, kita menegakkan peraturan/kebijakan ) regulasi inilah yang menambah panjang, ketidakmampuan kita sebagai negara membenahi system pertanian nasional.

Belajar dari India atau India Belajar dari Indonesia

Apakah Indonesia mencontoh India. Atau India yang mencontoh Indonesia?. Kita, tahu berdasarkan data dari “Worldometers”, Indonesia memiliki luas 1,9 juta km2 (22.800 km2 atau 1,2 % nya daratan), yang dihuni oleh 273,8 juta jiwa (BPS 2022). Sedangkan, India memiliki luas 3,28 juta km2 (2,97 juta km2 nya adalah daratan), dan dihuni lebih dari 1,4 Milliar jiwa. Adapun, luas lahan pertanian kedua negara adalah Indonesia 10,6 juta ha, sedangkan India 40 juta ha.

Yang mengherankan, mengapa India mampu menjadi eksportir beras dunia ke-2 (160 juta ton/tahun) setelah RRC (175 juta ton). Sedangkan, kita Indonesia (data BPS 2022) untuk mencapai produksi 32, 42 juta ton tahun 2022 saja sangat sulit. Bahkan, kita hanya mampu menambah 8,8 juta ton dari tahun 2018 lalu yang 31,54 juta ton.

Pilihan Indonesia, impor 429.207 ton untuk memenuhi kebutuhan kalori dalam negeri. Impor ini, menurun disbanding tahun 2018 (2,2 juta ton). Menariknya, lagi impor ini kita datangkan dari India, Thailand dan Vietnam.

India berhasil jadi eksportir beras, karena mereka menaruh perhatian besar pada sektor pertanian. Padahal, kita tahu India pernah menjadi importir beras pada 1960-an. Namun, setelah itu India mereformasi besar-besaran sektor pertaniannya secara lebih terintegrasi dan konsisten ketimbang Indonesia.

Kita juga tahu, lahan pertanian di India umumnya lahan kering. Luar biasanya, India mampu memproduksi 4,3 ton gabah kering giling (gkg) per hektar. Karena, lahan kering waktu produktivitas tanam-panen mereka hanya 4 bulan, bila ada musim hujan. Sedangkan, Indonesia bisa sepanjang waktu produktivitas (tanam-panen) nya. Karena, Indonesia bisa panen 2 – 3 kali/tahun. Dengan, tingkat produktivitas 6-7 ton (gkg)/hektar.

Lalu “dimana istimewanya India?”. Pertama, India memiliki konsistensi mereformasi pertaniannya. Langkah, utama yang dilakukan India adalah pada kekuatan riset di bidang pembibitan, pupuk dan teknologi pertanian (khususnya paska panen) untuk menambah nilai tambah. India menekan pada sisi efisiensi (dryer dan mesing penggilingan) pada. Bahkan, Dan, warehouse modern yang pengelolaannya diserahkan pada industri kecil, menengah di tingkat pedesaan.

India konsistensi membangun bendungan, kanal air, dan irigasi modern, tujuannya untuk mencegah banjir dan kekeringan. Pembangunan ini, sudah dilakukan hampir bersamaan dengan kita, yakni tahun 1970-an. Di India, tidak ada pembagian pupuk, bibit, pembasmi hama, dan lainnya secara gratis. Semua, diproduksi secara mandiri ditingkat local (pedesaan), dan oleh mereka sendiri. Negara, sebatas melakukan transfer ilmu pengetahuan dan pendampingan, selama masyarakatnya belum mandiri. Kebijakan ini, menjadikan petani India tidak ada yang malas atau tidak konsisten dalam menjalankan usaha pertaniannya. Mereka tidak menjadi petani musiman seperti di Indonesia.

Apakah Indonesia tidak ada kebijakan pertanian?. Ada, bahkan kebijakan tani India, sesungguhnya ada kemiripan dengan yang dilakukan pemerintahan Presiden Soeharto. Pembedanya, kalau era orde baru, semua didorong dengan cara-cara memberikan ikan pada petani, seperti pemberian pupuk gratis, bibit gratis, dan penggunaan teknologi pertanian modern dan canggih dipersawahannya melalui bantuan subsidi. India dan negara lain (Vietnam, Thailand) tidak.

Konsistensi kebijakan pertanian India ini, berdampak pada kemampuan India dapat panen 2-3 kali setahun. Distribusi pupuk, bibit dan pembasmi hama itu, dilakukan sepenuhnya oleh koperasi (KUD dikita). India, tidak menyerahkannya pada korporasi besar/konglomerasi. Semua, proses ekosistem pertanian dilakukan oleh koperasi: Pupuk koperasi, pabrik beras koperasi, agen beras ya koperasi, pakan ternak koperasi, ayam koperasi, telur koperasi, semua koperasi. Kebijakan tata kelola pertanian ini, tentu berbanding terbalik dengan Indonesia, yang melepaskan ke pasar bebas, sebebas-bebasnya.

Realita ini, ada kemungkinan India, sebenarnya belajar dari Indonesia. Tetapi, mereka melakukan inovasi kebijakan, yang tidak menjadikan petani mereka manja. Reformasi pertanian dilakukan secara komprehensif, konsisten, dan sistemik. Regulasi pertanian, harus ditekankan pada kepentingan rakyat (petani dan masyarakat konsumen pertanian). Empower to Power.

Negara harus mereformasi kebijakan pertanian, dari berbasis konglomerasi ke koperasi/kerakyatan. Reformasi, dapat dimulai dari pembenahan ekosistem pertanian, dimana negara harus menguasai input (pabrik-pabrik) pupuk, bibit, pakan, pembasmi, alat pertanian (cangkul, tractor, arit) harus dimiliki oleh negara. Jangan dilepas ke konglomerasi. Di India, China, Thailand dan Vietnam eksportir beras ke Indonesia. Pembukaan, pasar ini agar ada jaminan bagi petani, hasil panennya akan terserap oleh pasar. Sementara, di Indonesia pupuk dimonopoli BUMN, distribusi dan pasar dilempar ke pasar bebas. Akibatnya, harga tinggi, hasil taninya murah. Negara, hanya mampu meng-cover tidak sampai 50 % dari kebutuhan pupuk petani.

Paska panen, India membuat kebijakan system cadangan pangan. Sistem pencadangan pangan ini, memberikan jaminan agar stok cadangan beras minimal 30 % harus selalu tersedia dari total kebutuhan konsumsi nasional. Sedangkan, kita hanya mematok 8 % (480 ribu ton) dari kebutuhan beras nasional / bulan (2,7 juta ton). Minimnya, cadangan beras inilah, yang membuat fluktuasi harga di kita sangat rentan krisis, bila ada gagal panen atau musim kering sedikit saja, kita sudah goyah. Itulah yang kudu ditiru Indonesia.

Reformasi Pertanian Indonesia

Indonesia mutlak melakukan reformasi pertanian. Dan, negara harus hadir untuk memfasilitasinya untuk keterjaminan adanya sebuah tata kelola pertanian secara menyeluruh dan komprehensif. Negara harus menawarkan alternatif, dan memberikan solusi. Petani dan Pendidikan tani perlu secara sistemik dilakukan. Petani, harus intensif di edukasi agar tidak cukup puas ditempatkan sebagai pelaku budidaya tani. Negara juga jangan cukup bangga, menerima bantuan bibit, pakan, alat, pembasmi hama gratis dari para konglomerasi. Negara dan petani, harus dimandirikan melalui kebijakan dan regulasi yang memakmurkan.

Langkah utama dan pertama perlu dilakukan adalah mengelola ekosistem pertanian sepenuhnya oleh negara. Negara menjamin keberlangsungan reformasi pertanian, dengan semangat empower to power pertanian. Ekosistem pertanian, yang dimulai dari INPUT seperti bibit, pakan, pupuk, pembasmi hama harus ada ditangan negara—bukan konglomerasi. Jika, input ini tidak dikendalikan oleh kebijakan/regulasi negara, maka posisi petani dan Masyarakat akan terus ada diposisi lemah. Dan, kita tidak akan bisa sepenuhnya memberikan jaminan pengendalian harga, stok dan pasar yang menguntungkan petani/Masyarakat konsumen. Mengingat, titik awal permainan harga dilakukan oleh konglomerasi dari input ini.

Bila, input sudah dikendalikan sepenuhnya oleh negara,baru kitab isa beranjak ke Langkah lain seperti BUDIDAYA. Kini,posisi petani dan negara baru dilevel budidaya. Lemahnya, posisi petani dan negara, mengakibatkan konglomerasi akan sangat leluasa dan mudah menentukan grade hasil panen petani (PASKA PANEN). Akibatnya, hasil panen yang dapat diterima oleh konglomerasi dalam grade-grade. Grade A misalnya hanya yang kualitas baik, kuantitasnya pasti sedikit karena standarnya konglomerasi tetapkan agar secara kuantitas tidak banyak. Grade B, grade C, bahkan grade D bisa jadi tidak dihargai sama sekali. Sehingga, grade D ini dibuang atau dijual murah oleh petani. Bisa, jadi grade D inilah profit terbesar milik konglomerasi.

Tidak cukup disitu, sistem pergudangan (LOGISTIK) juga negara tidak menyediakan, Kembali konglomerasi memegang kendali—sewa, transportasi akhirnya milik mereka lagi. Petani dan negara hanya jadi penyewa dan konsumen.

Kembali ke paska panen, grade D (terburuk) oleh para konglomerasi olah menjadi produk bernilai tambah (missal kentang), diolah menjadi keripik/ snack berkemasan baik, untuk dijual Kembali/ekspor ke konsumen. Artinya, NILAI TAMBAH produk pertanian, ternyata Kembali lagi ke konglomerasi. Begitu pula, PASAR (market) otomotis konglomerasi lagi memegang kendali. Negara dan petani, hanya jadi penonton. Bahkan, negara bisa jadi hanya menjadi pemberi stemple proses pemasaran produk konglomerasi ke negara lain.

Keadaan ini, mengakibatkan petani dan negara selalu dipihak yang lemah dan atau terlemahkan. Untuk itu, negara perlu memiliki keberanian membuat regulasi pertanian, grand design/ blue print,tata Kelola pertanian yang memiliki keberpihakan pada rakyat. Andai, negara tidak mampu mengambil peran strategis pada sektor pertanian, kita tidak perlu bermimpi akan lepas dari ketergantungan pada impor. Impor yang menguntungkan negara lain, dan pemain local. Tetapi, merugikan hasil pertanian nasional dan rakyat. Empower to power. Power maksudnya negara harus mampu memberdayakan petani untuk mewujudkan kemandirian bangsa (power). Empower, yang dimaksudkan untuk mencapai tujuannya meningkatkan kesejahteraan. Dengan, cara mengontrol tata Kelola pertanian, guna menumbuhkan semangat positif dalam diri semua pihak (petani—pemilik modal). Sehingga, akan terjalin kerjasama/komitmen bersama dalam mencapai tujuan bersama (win-win solustion).

Mengingat, tugas dan fungsi negara adalah harus mampu mendorong langkah-langkah kolaborasi (collaboration), dengan semua stakeholders pertanian, perikanan dan peternakan, seperti investor, petani, pemerintah, akademisi, komunitas, media dan pelaku bisnis. Disini peran strategis negara/pemerintah mutlak karena pemegang otoritas regulasi.

(R)

Comment