REPUBLIKAN, Bandung Barat – Puluhan warga Desa Budiharja, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, menggelar aksi damai pada Jumat (10/10/2025) menuntut Kepala Desa Budiharja, Ahmad Syarif Hidayat, mundur dari jabatannya. Aksi ini dipicu dugaan kurangnya transparansi dalam pengelolaan keuangan desa serta sejumlah kebijakan yang dinilai merugikan masyarakat.
Dengan membawa 13 poin tuntutan, warga mengepung Kantor Desa Budiharja di Jalan Pasirmeong Tonggoh. Tuntutan utama yang disuarakan adalah permintaan agar kepala desa mengundurkan diri karena dianggap gagal menjalankan pemerintahan desa secara terbuka dan akuntabel.
“Kami pastikan aspirasi ini tidak akan berhenti di sini. Aksi damai akan terus berlanjut sampai Kepala Desa Budiharja mengundurkan diri,” ujar Pupung Saepul Mu’min, Ketua Paguyuban Peduli Masyarakat Desa Budiharja, saat ditemui di lokasi aksi.
Selain soal transparansi, warga juga memprotes pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BumDes) yang dinilai menyimpang dari tujuan awal. BumDes disebut-sebut dialihfungsikan menjadi lembaga simpan pinjam dengan bunga pinjaman mencapai 20 persen per tahun. Warga menilai angka tersebut terlalu tinggi dan membebani masyarakat.
“Saya tidak ingin desa ini seolah menghalalkan bunga pinjaman setinggi itu. Ini menyusahkan warga,” ujar Pupung.
Klarifikasi Kepala Desa
Menanggapi gelombang protes, Kepala Desa Ahmad Syarif Hidayat mengakui adanya miskomunikasi antara pemerintah desa dan warga. Ia membantah adanya tumpang tindih anggaran, khususnya pada pos Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan menjelaskan bahwa pencairan insentif guru dilakukan secara bertahap dalam setahun.
“Itu bukan anggaran ganda, melainkan pencairan insentif guru PAUD yang dilakukan tiga hingga empat kali dalam setahun,” jelas Ahmad.
Terkait keluhan warga soal kondisi jalan rusak, Ahmad menyatakan bahwa ruas jalan sepanjang 3,5 kilometer di wilayah desa tersebut telah beralih status menjadi jalan kabupaten sejak 2023. Karena itu, pemerintah desa tidak lagi memiliki kewenangan untuk melakukan perbaikan.
Namun, penjelasan tersebut tidak sepenuhnya meredakan keresahan warga. Banyak yang merasa bahwa kepala desa terkesan lepas tangan dan tidak berupaya maksimal memperjuangkan hak masyarakat.
Isu Pemotongan Insentif
Isu lain yang menyulut protes adalah pemotongan insentif bagi petugas lapangan, seperti anggota Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) dan para pengurus pengajian. Sejak 2024, insentif bagi lebih dari 100 pengurus ngaji dipotong dari Rp100.000 menjadi Rp75.000 per bulan.
Ahmad berdalih, langkah tersebut dilakukan untuk efisiensi anggaran dan menjaga keberlangsungan program desa lainnya. Ia menyebut bahwa jika insentif dinaikkan kembali menjadi Rp100.000, maka akan menyedot dana hingga Rp135 juta per tahun, dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang mencapai Rp1,135 miliar.
“Bukan kami tidak menghargai para pengajar ngaji, tapi kami harus menyesuaikan dengan kemampuan anggaran,” ujar Ahmad.
Tuntutan Terus Bergulir
Aksi warga Budiharja mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kepemimpinan desa yang dinilai minim komunikasi, kurang transparan, dan kurang berpihak pada masyarakat kecil. Warga menilai pemotongan insentif bagi tenaga pendidikan agama sebagai bentuk pengabaian terhadap nilai-nilai sosial dan moral.
Hingga berita ini diturunkan, aksi masih berlangsung secara damai. Warga menyatakan akan terus mengawal tuntutan mereka hingga ada kejelasan dan perubahan nyata dalam tata kelola pemerintahan desa.[R]
Comment